Kamis, 05 Februari 2009

Pertahanan Hadapi "Gempa Kedua"

Krisis yang bersumber dan berepisentrum di negara-negara maju membuat negara-negara berkembang yang ”tak berdosa” juga ikut babak belur. Kawasan emerging markets Asia yang semula dianggap relatif steril dari dampak krisis AS pun mendapat pukulan yang jauh lebih keras dibandingkan dengan yang mereka alami pada krisis finansial 1997/1998.

Untuk meredam dampak krisis global, secara kolektif emerging markets Asia sejauh ini sudah merencanakan untuk menggelontorkan sekitar 700 miliar dollar AS dalam bentuk stimulus fiskal. Pada saat yang sama, bank-bank sentral di kawasan ini juga berlomba-lomba menurunkan suku bunga guna mendorong pertumbuhan ekonomi yang mengalami perlambatan tajam di tengah penurunan permintaan ekspor global.

Sudahkah itu membuat Asia aman? Ternyata tidak. Seperti diingatkan Bank Dunia, stimulus hanya mampu mengurangi daya rusak dari krisis global, tetapi tak mampu mengompensasi kolapsnya permintaan global atau mengembalikan potensi pertumbuhan ekonomi yang dimiliki emerging markets.

Efektivitas stimulus juga masih sangat tergantung arah dan pelaksanaan di lapangan, serta respons dunia usaha dan masyarakat terhadap paket yang digelontorkan.
Terus memburuknya intensitas krisis ekonomi di negara maju membuat banyak negara dan lembaga dipaksa merevisi kembali target dan prediksi ekonominya.

IMF merevisi perkiraan pertumbuhan ekonomi global tahun 2009 dari 2,2 persen (versi November 2008) menjadi hanya 0,5 persen. Dengan semua macan Asia (Korea Selatan, Taiwan, Hongkong, dan Singapura) mengalami resesi, proyeksi pertumbuhan negara berkembang Asia juga dipangkas menjadi 5,5 persen. China diperkirakan hanya tumbuh 6,7 persen, dari 8,5 persen tahun 2008.

Perkembangan ekonomi global yang kurang menggembirakan itu membuat target pertumbuhan ekonomi Indonesia hasil revisi terakhir sebesar 4,5 persen-5,5 persen yang dipatok pemerintah pun dinilai terlalu optimistis. Sejumlah ekonom mulai berspekulasi mengenai kemungkinan angka batas bawah 4,5 persen pun tak akan bisa dicapai.

Yang dicemaskan, yang terburuk belum lewat. Beberapa ekonom dan pejabat, termasuk Gubernur Bank Indonesia Boediono (sebagaimana dikutip pers) dan Direktur Perencanaan Makro Bappenas Bambang Prijambodo, mengingatkan kemungkinan terjadinya gempa susulan yang kemungkinan lebih dahsyat dan harus diwaspadai.

Gempa susulan
Krisis kredit macet perumahan berisiko tinggi (subprime mortgage) di AS yang berkembang jadi krisis keuangan dan krisis ekonomi global ibaratnya baru gempa pertama. Sekarang ini sistem keuangan Asia belum kena. Jika sistem keuangan emerging markets Asia yang sekarang ini ibaratnya benteng terakhir ekonomi global juga jebol, dikhawatirkan tidak ada satu pun ekonomi Asia yang bisa bertahan, termasuk Indonesia.

Krisis 1997/1998 bisa dibilang belum apa-apa karena yang sekarang ini terjadi bersamaan dengan saat ekonomi dan sistem keuangan dunia juga lumpuh.
Bagaimana kesiapan kita menghadapi kemungkinan gempa kedua yang akibatnya bisa sangat katastropik ini?

Bambang Prijambodo mengatakan, pengalaman selama ini menunjukkan Indonesia cukup resilient, tahan menghadapi perlambatan ekonomi global, tetapi tidak gejolak atau ketidakstabilan moneter, ekonomi, maupun sosial politik.

Probabilitas terjadinya ”gempa kedua” di Asia akan ditentukan oleh interaksi antara menurunnya ekspektasi akan perlambatan ekonomi Asia, krisis keuangan global yang belum mencapai ketenangan yang memadai saat ini, serta ketahanan sistem keuangan Asia itu sendiri.
Di atas kertas, ketahanan sistem keuangan Asia saat ini boleh dikatakan jauh lebih kuat dibandingkan dengan kondisi sebelum krisis tahun 1997/1998.

Ada beberapa indikator.

Pertama, Asia sekarang ini relatif tidak terlalu terpapar langsung terhadap subprime mortgage. Selain itu, sistem perbankan Asia juga lebih sehat dibandingkan dulu.

Kedua, cadangan devisa Asia jauh lebih kokoh dibandingkan tahun 1997/1998 dan pada beberapa negara, terutama China, cukup mampu menjadi peredam apabila terjadi gejolak eksternal yang cukup besar.

Ketiga, tonggak ketahanan Asia yang tahun 1997/1998 dipegang bersama oleh Korea Selatan, Singapura, Hongkong, dan Taiwan pada lapis pertama, serta Indonesia, Malaysia, dan Thailand pada lapis kedua; kini digantikan oleh China yang kekuatannya jauh lebih besar.
Namun, pada saat yang sama, kita juga dihadapkan pada tekanan yang juga jauh lebih besar dibandingkan pada krisis 1997/1998.

Hal ini membuat bukan tidak mungkin ketahanan sektor keuangan Asia akan terancam jika gejolak keuangan global terus berlanjut, sementara ekspektasi perlambatan ekonomi Asia dan penurunan ekonomi global juga semakin besar serta tidak mendapat sinyal yang kuat berupa langkah- langkah global yang mampu mencegah menurunnya kepercayaan global.
Selain itu, meskipun kecil kemungkinan ketahanan sistem keuangan lapis pertama yang ditempati oleh China akan lumpuh, masih dimungkinkan tekanan berpengaruh pada lapis kedua dan lapis ketiga.

Melihat pengalaman krisis tahun 1997/1998 di mana potensi efek rambatan (contagious effect) antarnegara Asia sangat cepat dan besar, bukan tidak mungkin terpukulnya ketahanan sistem keuangan salah satu negara pada lapis kedua atau ketiga akan merembet pula pada negara lainnya meskipun lapis pertama tidak terlalu terpengaruh.

”Di sini dituntut satu kesiapan yang tinggi karena gempa susulan, seberapa pun kecil probabilitasnya dapat terjadi secara mendadak,” kata Bambang Prijambodo.
Sulit diprediksi
Dampak ”gempa susulan” itu sendiri sulit diperkirakan. Bisa lebih buruk, atau sebaliknya tidak sebesar seperti pada krisis 1997/1998. Pada krisis 1997/1998, perekonomian Indonesia mengalami kontraksi 13,1 persen pada tahun 1998 dengan investasi merosot 33,0 persen.
Dampak lebih kecil dari krisis tahun 1997/1998 dimungkinkan karena krisis ekonomi tahun 1997/1998 juga diperberat oleh krisis politik di dalam negeri. Ini salah satu yang mengakibatkan pemulihan ekonomi Indonesia relatif lebih lambat dibandingkan dengan negara lain.
Sementara, dampak lebih buruk bisa terjadi jika ketahanan tidak diperkuat. Selain itu, pada krisis 1997/1998 ekonomi di luar Asia masih bergerak cukup baik sehingga penurunan ekspor nonmigas hanya marginal. Bahkan, ekspor barang dan jasa secara riil mewaktu itu masih meningkat cukup tinggi dibandingkan dengan resesi global tahun 2001 di mana ekspor nonmigas turun hingga 8,5 persen.

Prospek ekonomi global yang suram juga mendorong banyak negara berlomba menambah stimulus ekonomi. Ada kesan, kalau tidak seprogresif kebijakan negara maju, kita dianggap tidak peka terhadap perlambatan yang terjadi.

Persoalannya, tak seperti negara-negara maju, negara-negara berkembang (dengan perkecualian China) tak memiliki kemewahan untuk bisa menggelontorkan stimulus fiskal dalam skala masif atau menurunkan suku bunga dan menerbitkan surat utang untuk membiayai stimulus/defisit, tanpa memunculkan risiko terhadap posisi nilai tukar mata uang dan perekonomiannya secara keseluruhan.

Tak kalah penting dari besaran, menurut Bambang Prijambodo, efektivitas stimulus fiskal juga ditentukan oleh arah penggunaan dan timing-nya. ”Jika arah stimulus tidak tepat dan penyerapannya rendah, maka efektivitasnya juga akan rendah. Sementara itu, risiko bagi negara berkembang untuk menutup defisit anggaran yang sangat agresif cukup besar dalam kondisi ekonomi global saat ini, dengan potensi gejolak yang mungkin masih berlanjut,” ujarnya.
Oleh karena itu, menurut dia, kuncinya di sini adalah menjaga kepercayaan terhadap ekonomi dan ketahanan ekonomi (termasuk terhadap nilai tukar mata uang dan sistem keuangan).

”Kalau ini runtuh, dampak destruktif yang dialami negara berkembang berkali-kali lipat lebih besar dari negara maju. selain langkah-langkah kebijakan ekonomi yang tepat arah dan fokus, semua pihak juga harus ikut menciptakan ketenangan sosial dan politik. Ini diperlukan agar langkah-langkah yang ditempuh, baik saat ini maupun ke depan dapat berjalan lebih efektif,” tambahnya.

Sri Hartati Samhadi Sumber : Kompas Cetak

Kunjungi www.cibercentra.com Layanan iklan dan promosi online gratis!!

Tidak ada komentar: