Senin, 04 Februari 2008

Polemik “Poco-poco” & Undur-undur Kekanak-kanakan *PDIP dan Pemerintah Bersikap Emosional

Jakarta (SIB)Saling sindir tari poco-poco dan tari undur-undur antara Megawati dan anak buah SBY dinilai sebagai sikap kekanak-kanakan dalam berpolitik. Ketua FKB DPR Effendi Choirie meminta elit politik lebih dewasa dan tidak menerapkan politik saling ejek.“Kalau saling mengejek gitu, kayak anak kecil. Maka hentikanlah yang seperti itu, nanti diketawain rakyat kalau diterus-teruskan,” kata Effendi Choirie yang biasa dipanggil Gus Choi itu pada detikcom, Sabtu (2/2).Anggota komisi I DPR ini meminta SBY tetap konsentrasi saja menjalankan program-programnya. Kritik dan masukan harus dimaknai sebagai cambuk agar program peningkatan kesejahteraan rakyat dapat dipenuhi.“Pak SBY sebaiknya memang tenang saja kalau dikritik. Semakin tinggi pohon semakin kencang anginnya. Jadi biarin aja, yang penting terus kerja. Rakyat yang akan menilai nanti siapa yang kerja untuk rakyat dan tidak,” tambah Gus Choi.Politisi asal gresik ini berharap elit politik lebih santun dalam bermanuver. Saling ejek antar elit akan semakin membuat muak dan antipati pada parpol dan elit politik.“Jangan sampai rakyat marah melihat kelakuan elitnya yang hanya bisa bertengkar sendiri. Nanti demokrasi akan terancam kalau rakyat sudah antipati pada elit politik dan parpol,” pungkas Gus Choi.Rakyat Butuh Solusi, Bukan ‘Poco-poco dan Undur-undur’Polemik ‘tari poco-poco’ dan ‘tari undur-undur’ antara Megawati dan anak buah SBY akan semakin memuakkan rakyat. PKS berharap elit politik mentradisikan politik yang santun dan menjauhkan diri dari sikap menghasut dan bertengkar.“Kita himbau para elit politik membangun politik yang santun. Rakyat tidak membutuhkan pertengkaran,” kata Presiden PKS Tifatul Sembiring dalam jumpa pers sebelum pembukaan Mukernas PKS, di Inna Grand Bali Beach, Sanur, Bali, Jumat (1/2).Menurut Tifatul, Rakyat membutuhkan solusi dari persoalan yang dihadapi saat ini. Karena itu, perdebatan elit harus diarahkan untuk menjawab masalah masyarakat bukan saling menghujat dan menghina.“Apakah judulnya poco-atau undur-undur, rakyat membutuhkan solusi, suasana nyaman dan beradab,” terangnya.Tifatul tidak memungkiri menjelang 2009 akan terjadi pemanasan suhu politik nasional karena akan banyak orang yang mendeklarasikan diri sebagai capres 2009.PDIP DAN PEMERINTAH BERSIKAP EMOSIONALKritikan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) kepada pemerintah seharusnya terarah, tidak dengan sindiran, tetapi memberi alternatif kebijakan. Perdebatan yang ada cenderung emosional.Pemerintah dengan partai pendukungnya tak perlu terpancing emosi sehingga tak terjebak debat kusir yang menghabiskan energi.Demikian pengamat politik Universitas Indonesia (UI) Maswadi Rauf dan dosen komunikasi politik Universitas Diponegoro (Undip) Triyono Lukmantoro secara terpisah dari Jakarta, Sabtu (2/2), terkait dengan kritikan “poco-poco” Megawati yang dibalas Wapres Kalla dan fungsionaris Partai Demokrat.Maswadi mengatakan, polemik PDIP dengan pemerintah tak memberi pendidikan politik yang baik bagi masyarakat. “Saya kira debat kusir yang satu bilang seperti poco-poco, lalu yang lain bilang dance, dihentikan. Itu tidak mendidik, apa substansi dari perdebatan seperti itu?” kata Maswadi.Cara kritik PDIP, jelas Maswadi, kurang menarik dan terkesan emosional, apalagi jika dikaitkan dengan masa lalu Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sebagai oposisi pemerintah, seharusnya kritikan Megawati konkret dengan bukti kelemahan pemerintah serta cara penanganan yang harus dilakukan. Mengkritik secara umum dengan menyindir tidak menyelesaikan persoalan karena pemerintah tentu tidak ingin dianggap semua kebijakannya salah.Meski demikian, katanya, ide dasar perdebatan PDIP dengan pemerintah adalah demokrasi tetapi implementasinya masih salah. Seharusnya implementasinya itu yang substansial, bukan sikap emosional,” kata Maswadi.Triyono mengatakan pernyataan antara Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dengan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono akan membuat rakyat bodoh dalam berpolitik. Alasannya, perang pernyataan itu bersifat personal dan bukan substansial, sehingga permasalahan yang sebenarnya terjadi tidak tampak di permukaan.“Dampaknya buat rakyat adalah pihak yang memfavoritkan Yudhoyono akan berhadapan dengan yang memfavoritkan Megawati, tapi personal. Rakyat hanya disuguhi permasalahan personal bukan substansi,” katanya.Menurutnya, sebagai sebuah partai yang memposisikan dirinya sebagai partai oposisi, PDIP memang punya kewajiban untuk melakukan kritikan terhadap pemerintah. Namun sayangnya, kritik yang sering dilontarkan tidak cukup mengena karena cenderung emosional dan personal. Ini hanya akan menjadi komoditas perang wacana di kalangan elite atas, sementara rakyat tetap terbelenggu dengan kemiskinan dan bencana alam.“Kalau mau bilang ekonomi belum merata jangan memberi metafora, yang tidak cukup kena. Ini saya melihat hanya pernyataan emosional Mega karena merasa dikhianati oleh Yudhoyono-Kalla dan mengalahkan dia jadi presiden. Pernyataan Mega ini menjadikan PDIP bukan partai oposisi tapi partai pengritik,” paparnya.TERIMA SECARA WAJARSementara itu, Ketua Fraksi PDI Perjuangan di DPR RI, Tjahjo Kumolo di Jakarta, Jumat (1/2), mengatakan kritik yang disampaikan pada HUT ke-35 partainya terhadap kebijakan pemerintah seharusnya diterima secara wajar oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, bukan dengan emosi.“Kritik kami sebagai partai oposisi itu, tidak asal kritik, tetapi dengan data yang ada. Setidaknya (kritik) ini sebagai evaluasi, apakah kebijakan pemerintahan yang sekarang sudah sesuai dengan realitasnya dan sudah sesuai dengan janji-janji kampanye dahulu,” kata Tjahjo Kumolo.Apa yang disampaikan itu berdasarkan data, fakta, dan aspirasi rakyat yang semakin terjepit akibat harga kebutuhan pokok merangkak naik. “Jadi sekali lagi, mestinya kritik koreksi kami itu sebagai partai oposisi, harusnya diterima dengan wajar oleh pemerintahan SBY, bukan dengan emosi,” katanya.Tjahjo menambahkan jika cara penerimaan yang arif bijaksana, tentunya kritik koreksi ini bisa jadi bahan evaluasi, apakah kebijakan mereka selama ini sudah sesuai harapan, atau telah selaras dengan janji-janji kampanye.KETUA PBNU Hasyim Tak Mau Ikut-ikutan Polemik Mega Vs Kubu SBYSindir-menyindir antara mantan presiden Megawati Soekarnoputri dengan kubu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi polemik. Namun mantan pasangan Mega dalam Pilpres 2004, Hasyim Muzadi, tidak mau ikut-ikutan.“Ah, itu urusan sendiri-sendirilah. Saya nggak mau komentar,” cetus Hasyim.Hal itu disampaikan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ini saat memimpin sekitar 50 kiai NU bersilaturahmi ke kediaman Menkes Siti Fadilah Supari di Jl Denpasar No 14, Kuningan, Jakarta Selatan, Sabtu (2/2).Hasyim yang mengenakan baju koko warna putih mengatakan, polemik antara Mega dan kubu SBY adalah urusan partai politik. “Jadi wewenangnya sendiri-sendiri,” imbuhnya.Mega : Bicara Saya Tak Tajam, Mungkin Telinganya SajaKritik pedas bisa membuat telinga merah. Namun bagi Mega, kritiknya terhadap pemerintahan SBY-JK tidaklah tajam. Mungkin saja telinga yang mendengar merasa ucapannya tajam.Kritik Mega yang tergres adalah sentilan terhadap pemerintahan SBY-JK yang dinilainya seperti penari poco-poco. Maju selangkah, mundur selangkah. Tidak ke mana-mana.“Ada yang bilang, Ibu Mega ini bicara terlalu tajam. Padahal bicara saya tidak tajam. Mungkin telinganya saja,” cetus Mega.Hal tersebut disampaikan Ketua Umum PDIP ini saat berdialog dengan 300-an warga Kotabumi di halaman rumah makan Taruko Jaya, Kotabumi, Lampung Utara, Lampung, Sabtu (2/2). Masyarakat yang berdialog dengan Mega kebanyakan warga transmigran dari Pulau Jawa.
Menurut Mega, kritikannya terhadap pemerintah merupakan kenyataan sebenarnya dalam masyarakat. Substansi kritikan itu diperolehnya saat berdialog dengan masyarakat ketika bersafari politik.“Jadi bukan saya yang bilang, tapi saudara-saudara semua. Saya hanya membawa dan menyampaikan aspirasinya ke Jakarta,” ujar mantan presiden ini.Putri Proklamator Bung Karno ini juga membantah melakukan kampanye terselubung melalui safari politik, meski masa Pemilu 2009 tinggal sekitar lebih dari setahun lagi.“Saya tidak kampanye terselubung, terbuka saja. Saya ketua umum partai dan mantan presiden. Saya punya konstituen yang memilih saya. Jadi saya tidak bisa membiarkan begitu saja,” ucapnya. Jika ada tokoh lain yang meniru manuver politiknya, Mega mengatakan, “Silakan saja,” pungkasnya. (Detikcom/Ant/SH/l)

Minggu, 03 Februari 2008

Flood waters down, but city still on alert

Flood waters down, but city still on alert
The Jakarta Post, Jakarta
Despite clear weather and receding waters on Saturday, the Meteorological and Geophysics Agency says Jakarta resident should brace for more floods before the end of the month.
The agency has predicted cloudy skies and heavy, prolonged rainfall in the coming weeks.
"The rains we had recently were caused by a weather pattern called the Madden-Julian oscillation, which increases the possibility of massive rains that may last from three up to four days," the agency's head of research and development, Mezak Arnold Ratag, told The Jakarta Post on Saturday.
The pattern, he said, usually affects weather in a region from 30 to 40 days.
Mezak said that flooding could also occur due to rainfall in upstream areas such as Bogor and Depok.
"In such cases, Jakarta would be heavily flooded again because the excess water would flow into the city," he said.
Mezak said the city would have been in a better situation this month if it had prepared its drainage system earlier.
The Jakarta Police's Traffic Management Center said that the number of flooded areas had dropped from 140 to 27 by Saturday.
Many people have returned to the houses they left to the waters on Friday.
Residents of Kampung Pulo in East Jakarta, which was inundated up to 1.5 meters deep in parts on Friday, have begun cleaning up their homes.
Mohammad Harris, a Kampung Pulo community unit chief, said that they were still ready for more floods.
"We are still on alert as it is the time of the year where the big floods come," he said.
Some areas of the city are still underwater.
Rawa Buaya of West Jakarta, suffered heavy flooding after the rain had stopped because the water level in the Angke River had risen and burst its banks.
A resident, Sriyono, said he had not been prepared for the floods.
"The water starts to rise quickly on Saturday morning," he said, adding that it was high as an adult's stomach on Friday.
The Sedyatmo toll road, the main link between the city and the international airport, was still flooded 50 cm deep on Saturday.
A lack of public transportation to the city meant many arrivals were left stranded at the airport, while passengers on their way there struggled to find alternative roads.
"We won't allow sedans or any low-level vehicles to cross the toll road," said Adj.Sr. Comr. Mujiana was quoted by Antara news agency as saying.
Thousands of people were left stranded by floods that affected 14 percent of the city's 267 subdistricts on Friday.
Water inundated main thoroughfares, railways and the runway of Soekarno-Hatta International Airport. More than 3,000 residents were forced to leave their homes.
The Health Ministry's Crisis Management Center recorded at least three people dead on Friday due to drowning, while the Greater Jakarta division of state-owned railway operator PT Kereta Api recorded Rp 550 million (US$57,894) of losses due to travel delays and railway deterioration.(anw/ewd)
Alternative routes to Soekarno-Hatta international airport
Route 1: Jakarta-Merak toll road, exit at Karawaci toll gate--Jl Imam Bonjol--T-intersection at Jl Merdeka--Jl Otto Iskandardinata--Jl Aipda.K.S.Tubun--Jl Marsekal Suryadarma--airport main gate
Route 2: Jl Ki Sama'un--Jl.K.S.Tubun--turn right to Jl Sungai Cisadane Pintu 10--airport main gate
Route 3:Jl Daan Mogot--Jl. Halim Perdanakusuma--Jl Husein Sastranegara--airport main gate
Source: The Jakarta Post