Kamis, 04 Desember 2008

"We are the World": by USA for Africa

“There comes a time, when we need a certain call. When the world, must come together as one.”



Anda tahu lirik lagu ini?

Itulah lirik pembuka dari lagu “We are the World” yang sangat populer pada tahun 1985. Lagu ini dinyanyikan secara keroyokan oleh para musisi ternama dunia, mulai dari Michael Jackson, Bob Dylan, Stevie Wonder, Tina Turner, Bruce Springsteen, Paul Simon, Kenny Rogers, dan masih banyak lagi.



Lagu ini melodinya indah, liriknya juga sederhana dan mudah diingat. Karakter vokal yang unik dari para musisi ternama ini mampu membuat harmonisasi suara yang indah, sehingga masih terngiang-ngiang di telinga kita sampai saat ini walaupun sudah lebih dari 20 tahun.



Proyek yang digarap oleh Quincy Jones ini bertujuan untuk mengumpulkan dana dalam rangka membantu upaya pemberantasan kelaparan di Ethiopia. Pada tahun 1984-1985 itu Ethiopia memang sedang mengalami tragedi kemanusiaan kekurangan pangan akibat musim kering yang berkepanjangan.



Para musisi tadi menamakan dirinya sebagai “USA for Africa”. Jangan salah, nama tersebut bukan merupakan singkatan dari “United States of America for Africa”, tapi “United Support of Artists for Africa”. Sebagian besar musisi tersebut memang berasal dari Amerika, namun ada juga yang berasal dari luar Amerika seperti Bob Geldof (dari Irlandia) dan Dan Aykroyd (Kanada).



Proyek “USA for Africa” ini mencapai kesuksesan luar biasa, bukan hanya dari segi komersial, namun juga dari sisi pengaruhnya terhadap aspek sosial-budaya masyarakat.



Proyek amal ini sebenarnya diinspirasi dari proyek serupa dari Inggris, yaitu proyek Band Aid dari Bob Geldof pada tahun 1984. Dengan lagunya “Do They Know It’s Christmas?” Band Aid juga berupaya mengumpulkan dana untuk memerangi kelaparan di Ethiopia. Band Aid sendiri terdiri dari sejumlah musisi ternama Inggris saat itu seperti Duran Duran, Spandau Ballet, Paul Young, George Michael, Sting, Phil Collins, Bono, dan lainnya.



Nah, kisah proyek USA for Africa dan Band Aid ini bisa menjadi inspirasi bagaimana pentingnya melakukan kolaborasi dalam era New Wave Marketing.



Kolaborasi seperti inilah yang bisa menyentuh hati pendengar musik di seluruh dunia. Pendengar musik (baca: pelanggan) akan terus menyimpan kenangan ini selamanya di hati mereka.



Para musisi ternama tadi juga mau melakukan kolaborasi karena adanya tujuan bersama yang di atas kepentingan pribadi mereka masing-masing.



Sama seperti perusahaan, jika ingin melakukan kolaborasi tentu masing-masing perusahaan harus merasakan adanya tujuan bersama yang ingin dicapai. Setiap perusahaan harus mau berdiri sejajar dan mengedepankan kepentingan bersama atas adanya kesadaran bahwa tujuan tadi tidak dapat diraih jika masing-masing berjalan sendiri.



Berkat perkembangan teknologi yang semakin pesat, kolaborasi ini menjadi lebih mudah dilaksanakan. Seperti yang sudah saya ceritakan dengan mengambil contoh kisah Li & Fung, InnoCentive, Mayo Clinic, dan IBM.



Proyek USA for Africa juga menunjukkan pentingnya peranan karakter. Bisa dilihat bahwa karakter masing-masing musisi tetap tidak hilang dalam proyek kolaborasi ini. Kita masih bisa mengenali, mana suara Michael Jackson, mana Bob Dylan, mana Stevie Wonder, dan sebagainya.



Hal ini bisa terjadi karena para musisi tersebut memang sudah punya karakter yang kuat. Mereka punya karisma yang telah melekat di hati para penggemarnya.



Begitu pula merek. Merek harus memiliki karakter yang kuat sehingga tetap bisa dikenali orang di tengah-tengah lautan merek yang ada saat ini. Merek atau karakter yang karismatik akan mampu membuat pelanggan jatuh cinta setengah mati. Ia tidak akan sensitif lagi terhadap masalah harga misalnya, karena karakter tersebut sudah dianggap sebagai bagian dari dirinya sendiri.



Karena itu, karakter seperti ini juga sudah tidak memerlukan “baju” atau “kemasan” lagi. Pelanggan akan dengan mudah mengenali karakter yang bersangkutan walaupun kemasannya berbeda.



Sebaliknya, walaupun ada produk yang mencoba memirip-miripkan kemasan luarnya dengan sebuah merek/karakter yang sudah kuat, pelanggan juga tetap akan bisa mengenalinya. Pelanggan tidak akan tertipu, karena karakternya memang tidak bisa ditiru.



Dan yang terakhir, kepedulian yang tuluslah yang dibutuhkan orang saat ini, bukan sekadar perhatian atau malah lip service belaka. Caring akan membuat seseorang merasa diperhatikan sebagai manusia, bukan obyek layanan. Pemanfaatan teknologi akan memudahkan sebuah perusahaan memberikan kepedulian yang sepenuh hati ala rumah sakit kepada para pelanggannya.



Inilah cara memenangkan heart share di era New Wave Marketing, yaitu melalui Character, Caring, dan Collaboration.



-- Ringkasan tulisan ini bisa dibaca di Harian Kompas --


Hermawan Kartajaya

Tidak ada komentar: