Senin, 08 Desember 2008

Pangea Day: When the World Becomes One

“By sharing stories, we’ve started the process of turning strangers into friends.” Itulah yang dikatakan Jehane Noujaim, seorang sutradara Amerika kelahiran Mesir, yang juga merupakan penggagas Pangea Day.

Apa itu Pangea Day? Pangea Day merupakan acara multimedia yang diselenggarakan di enam kota sekaligus: Kairo, London, Los Angeles, Mumbai, Rio de Janeiro, dan Kigali (ibu kota Rwanda). Selama empat jam pada 10 Mei 2008 lalu, keenam kota tersebut secara simultan menyelenggarakan pemutaran film, pementasan musik, dan menampilkan pidato dari sejumlah tokoh terkemuka.

Hebatnya, keseluruhan program ini disiarkan secara langsung dalam tujuh bahasa kepada jutaan orang lewat media televisi, Internet, dan telepon seluler! Acara ini bertujuan untuk menyatukan jutaan orang di seluruh dunia melalui sebuah pengalaman bersama yang unik. Dengan demikian, diharapkan akan tercipta pemahaman yang lebih baik antara tiap-tiap manusia yang terdiri dari berbagai bangsa, budaya, dan bahasa.

Pangea Day sendiri diinspirasi dari kata ”Pangea” yang merupakan super benua pertama yang ada di planet bumi sekitar 250 juta tahun lampau. Saat itu bumi memang masih terdiri dari satu daratan yang mahabesar, belum terpisah-pisah menjadi benua Asia, Afrika, Eropa, dan sebagainya. Jadi, dengan pelaksanaan Pangea Day diharapkan bahwa umat manusia bisa bersatu kembali demi kesejahteraan bersama, bukannya terpisah-pisah oleh berbagai konflik seperti yang ada sekarang. Nah, pelaksanaan Pangea Day ini menjadi contoh nyata proses horisontalisasi di era new wave marketing.

Perkembangan teknologi membuat orang menjadi lebih mudah melakukan kerja sama dengan banyak orang di negara lain yang terpisah ribuan kilometer. Tidak ada lagi jurang yang bisa memisahkan manusia di muka bumi ini, baik itu perbedaan bahasa, budaya, maupun agama. Kerja sama seperti ini merupakan keniscayaan karena tidak ada satu pun negara atau bangsa di dunia ini yang benar-benar bisa hidup sendiri.

Amerika Serikat, misalnya, terbukti rakyatnya juga merasa tidak nyaman dengan kebijakan unilateral dari George W Bush dan akhirnya memilih Barack Obama yang dianggap bisa mengembalikan pamor Amerika di mata dunia. Begitu juga negara China, yang justru mengalami kemajuan pesat setelah bersikap lebih terbuka terhadap penanaman modal asing di negaranya. Olimpiade Beijing pada Agustus lalu seolah menjadi showroom dari kesuksesan pembangunan China di abad modern ini.

Jadi, sekali lagi saya katakan bahwa pandangan outward-looking menjadi paradigma yang penting di era new wave marketing. Kita harus selalu melihat pasar, apa saja yang telah dilakukan pesaing dan pelanggan kita. Tidak bisa lagi kita mengelu-elukan kejayaan masa lalu yang mungkin tidak relevan lagi saat ini.

Dalam konteks industri sendiri, lambat-laun istilah country of origin juga menjadi kurang relevan lagi. Pelanggan akan memilih produk alias Co-Creation yang dianggap terbaik, tidak peduli dari mana asalnya. Lagi pula, semakin sulit menentukan dari mana sebenarnya asal sebuah produk. Proses yang ada sifatnya sudah jadi collaboration antara berbagai perusahaan di berbagai negara.

Misalnya saja pesawat Boeing 787. Sebagian fuselage-nya dibuat di Amerika, sayapnya buatan pabrik Mitsubishi dari Jepang, horizontal stabilizer-nya buatan pabrik Alenia dari Italia, dan mesinnya hasil kerja sama GE dari Amerika dan Rolls-Royce dari Inggris. Karena itulah, walaupun Boeing ini secara resmi disebut buatan Amerika, tetapi sebenarnya banyak komponennya yang berasal dari negara-negara lain. Maka, kemampuan kita untuk menjalin kerja sama dengan orang lain menjadi semakin penting saat ini. Tidak bisa lagi kita bersikap arogan dan menutup diri karena merasa paling unggul. Sekali lagi ingat, bukan hanya IQ yang penting, namun juga EQ dan SQ.

Lanskap new wave memang telah menjadi globosphere yang sifatnya 3 dimensional. Setiap orang atau pihak bisa saling berganti peran dengan cepatnya. Sekarang menjadi change agent, satu jam kemudian menjadi pesaing (competitor), setengah jam lagi berperan jadi pelanggan (customer), dan beberapa saat kemudian sudah jadi connector. Jadi, sekarang lanskapnya bukan lagi lanskap yang bersifat dua dimensional yang dilihat dari atas (top-down perspective). Bukan lagi lanskap yang statis dengan peran-peran yang sudah tetap.

Inilah lanskap new wave yang seperti galaksi tanpa batas. Tantangan yang ada di depan semakin sulit diprediksi. Karena itu, kita akan semakin membutuhkan kerja sama dengan orang lain untuk menghadapi tantangan-tantangan tersebut. New wave marketer juga harus bisa memanfaatkan teknologi untuk lebih mengoptimalkan kerja sama tersebut.



Hermawan Kartajaya

Tidak ada komentar: