Selasa, 14 Oktober 2008

Meninjau kembali rencana bisnis bank

oleh : Ryan Kiryanto
VP Senior Economist BNI


Perkembangan industri keuangan global yang memburuk cepat atau lambat akan menjalar ke perekonomian Indonesia. Ini sebagai konsekuensi dari sistem ekonomi terbuka yang kita anut. Lebih-lebih negara kita juga menganut rezim devisa bebas. Jadi, uang benar-benar tidak berkewarganeragaraan dan bebas lalu lalang antarnegara.

Sebelum menjalar ke sektor riil, sepertinya sektor keuangan lokal, termasuk perbankan, bakal berkutat terlebih dahulu dengan imbas krisis keuangan global itu. Bukan hanya soal apakah ada bank-bank nasional yang memiliki portfolio investment berbasis subprime mortgage dan instrumen derivatif lainnya semacam credit default swaps (DCS) yang ternyata membuat keguncangan sektor keuangan global.

Pada awalnya episentrum krisis sektor keuangan ini terpusat di Amerika Serikat, ditandai oleh kebangkrutan dan kerugian besar yang diderita oleh bank-bank investasi skala global. Pemerintah AS bahu membahu dengan The Federal Reserve Bank (The Fed, bank sentral AS) mengamankan agar industri keuangan tidak semakin kacau. Pemerintah AS tentu tidak menghendaki terjadi great depression jilid II sebagaimana pernah terjadi di tahun 1930-an.

Salah satu solusi besar yang dilakukan AS adalah dengan melakukan bailout sebesar US$700 miliar untuk menyangga likuiditas di pasar keuangan AS. Secara individual pun bank-bank besar yang lebih sehat "membantu" menyehatkan bank-bank yang nyaris kolaps dengan membeli sahamnya.

Mengingat "pusat gempa" krisis keuangan terjadi di AS sebagai pusat keuangan dunia, maka cepat atau lambat efek krisis itu menjalar ke kawasan lain. Inilah buah dari globalisasi, termasuk liberalisasi sektor keuangan. Pada awalnya krisis itu menjalar ke kawasan Eropa. Pemerintah setempat dengan bank-bank sentralnya segera melakukan langkah antisipasi dalam bentuk kucuran likuiditas plus kebijakan penurunan suku bunga.

Krisis tersebut kemudian menjalar ke kawasan Asia, masuk melalui Jepang, Hong Kong dan Tokyo yang dikenal sebagai negara maju di kawasan ini. Dari sinilah krisis ini kemudian akan memancar ke negara-negara tetangga ketiga negara adidaya ekonomi Asia tersebut, tak terkecuali Indonesia.

Pada awalnya sektor keuangan Indonesia terhenyak dengan sengatan krisis yang seolah datang tiba-tiba. Diawali dari kemerosotan indeks harga saham gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI), dari kisaran posisi 2.400-an menuju kisaran 1.500-an.

Harga saham terkoreksi tajam karena investor lebih banyak melepas saham dengan berbagai alasan, pada umumnya adalah untuk mencegah kerugian lebih besar, selain untuk memenuhi kebutuhan cash. Sebagian lagi investor asing untuk dikonversi ke dolar AS.

Nah, sebagian investor asing yang mendolarkan rupiahnya itulah yang juga menyebabkan nilai tukar rupiah ikut-ikutan terperosok dari posisi Rp9.300-an menjadi Rp9.600-an per dolar AS. Ini pulalah yang menyebabkan likuiditas ketat bukan hanya pada rupiah, namun juga pada dolar AS.

Konon perusahaan asing, dan lebih-lebih lembaga keuangan asing yang beroperasi di Indonesia, memigrasikan dolarnya ke luar Indonesia untuk membantu meringankan penderitaan lembaga keuangan induknya di luar negeri. Bahkan tak sedikit tenaga kerja asing yang lebih frequent mendolarkan rupiahnya dalam jumlah lebih besar untuk dialihkan ke luar negeri.

Berbagai faktor di atas berdampak pada keringnya likuiditas di pasar keuangan Indonesia, terutama pasar perbankan. Hal inilah yang mendorong bank-bank mengerek suku bunga simpanan pada level lebih tinggi untuk menjaga likuiditasnya.

Kekeringan likuiditas di sektor perbankan sudah terasa sejak memasuki triwulan kedua tahun ini ketika pemerintah agresif menyedot dana masyarakat melalui penerbitan surat utang berharga seperti Surat Utang Negara (SUN), Obligasi Ritel Indonesia (ORI), dan Obligasi Syariah (Sukuk).

Penyerapan dana publik ini hampir sebagian besar adalah dana masyarakat yang selama ini berada di bank-bank. Dengan adanya surat utang berharga yang tingkat imbal hasilnya dinilai lebih atraktif oleh pemodal, maka sebagian dana itu keluar dari perbankan dan beralih ke rekening pemerintah yang ada di Bank Indonesia.

Sayangnya, penghimpunan dana untuk memenuhi sumber pembiayaan APBN itu tidak segera diserap oleh departemen-departemen dalam bentuk pembiayaan proyek sehingga "menganggur" di rekening pemerintah yang ada di BI.

Pada saat yang sama, sebagian debitur masih agresif meminta fasilitas kredit ke bank-bank. Untuk memenuhi ketersediaan likuiditas, bank-bank pun mencari dana dengan "sweetener" patokan suku bunga yang lebih tinggi daripada biasanya.

Karena bank-bank mengidap penyakit yang sama, yakni pengetatan likuiditas, alhasil di pasar cenderung terjadi perang suku bunga. Tekanan kepada perbankan makin berat menyusul langkah bank sentral menaikkan suku bunga acuan atau BI Rate sebesar 150 basis poin (bp) terhitung sejak bulan Mei 2008. Tercatat BI sudah menaikkan BI Rate sebanyak enam kali masing-masing sebesar 25 bp.

Dengan penetapan BI Rate yang terus mendaki, dan mungkin dengan pemahaman yang sama pula, Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) menaikkan bunga mendekati atau bahkan sama dengan level BI Rate. Alhasil, suku bunga simpanan bank-bank harus dikerek naik agar pemilik dana tidak berpindah ke bank lain.

Bahwasannya pada akhirnya bank sentral melakukan kebijakan relaktatif melalui pelonggaran penetapan rasio giro wajib minimum (GWM) dan tidak menerapkan marked to market atas surat utang yang dimiliki bank, tetap saja likuiditas bank sepenuhnya rebound. Apalagi, pemilik dana juga sedang butuh likuiditas untuk membeli surat berharga dalam bentuk saham dan obligasi yang harganya sedang berguguran.

Memang dana yang keluar tadi akan kembali ke sistem perbankan. Masalahnya, kembalinya dana itu belum tentu ke bank asal. Inilah yang menyebabkan fenomena suku bunga tinggi bakal dipertahankan.

Di sini bank harus hati-hari dalam menetapkan suku bunga tinggi terkait dengan jangka waktu. Maksudnya, dana mahal yang dihimpun biasanya "dikunci" dalam jangka waktu tertentu. Kepiawaian bank dalam menetapokan jangka waktu kuncian itu akan menentukan bank akan menderita "kerugian" atau tidak.

Lalu, kapan likuiditas kering ini akan basah kembali? Jawabnya bergantung kepada kecepatan pemerintah membelanjakan anggarannya di sisa tiga bulan ke depan ini. Kalau benar pemerintah akan mencairkan dana sekitar Rp25 triliun untuk berbagai keperluan departemen dan lembaga, maka saat itulah likuiditas berangsur-angsur akan kembali longgar.

Berikutnya, suku bunga akan kembali menurun. Tentu ini memberikan sentimen positif bagi dunia usaha karena dengan demikian permintaan kredit akan kembali melonjak. Namun ke depan bank-bank hendaknya lebih fokus pada pembiayaan ke sektor produktif secara selektif.

Untuk sementara waktu kredit ke sektor konsumtif perlu dipertimbangkan kembali. Jangan sampai kredit jenis ini menjadi "bubble" dan "bom waktu" seiring melemahya perekonomian global. Di tengah ketatnya likuiditas dolar AS saat ini pun hendaknya menyadarkan bank-bank jangan lagi membiayai dalam dolar AS. Pembiayaan rupiah masih jauh lebih secure.

Last but not least, perbankan nasional juga akan dihadapkan pada peningkatan risiko karena situasi pasar keuangan dunia saat ini seperti risiko pasar, risiko likuiditas, dan risiko kredit. Likuiditas sudah semakin seret, yield (imbal hasil) surat utang akan naik, dan harga obligasi akan kembali turun.

Risiko pasar yang timbul dari pergerakan harga dari portofolio yang dimiliki bank berasal dari pergerakan suku bunga dan nilai tukar. Kondisi tersebut akan mengancam bank-bank yang memiliki portofolio cukup besar pada surat-surat berharga. Selanjutnya, hal tersebut akan mengancam likuiditas bank dan merembet ke risiko kredit. Suku bunga kredit akan naik dan akan mengancam peningkatan kredit macet.

Oleh karena itu, sebaiknya bank-bank bersiap menambah modal dan membentuk pencadangan (provision) untuk semua jenis aset baik kredit maupun non kredit. Langkah ini diperlukan untuk mengantisipasi terjadinya non performing loan (NPL) maupun non performing asset (NPA).

Yang pasti, tambahan pencadangan ini bakal menggerus keuntungan bank. Potensi penggerusan akan dapat ditahan apabila bank juga melakukan langkah-langkah loan restructuring setelah mapping atas setiap debitur yang sensitif terhadap perubahan lingkungan ekonomi dilakukan dengan teliti. (sumber bisnis.com)

Tidak ada komentar: