Kamis, 30 Oktober 2008

Indonesia terimbas krisis, India & China coba raih peruntungan di tambang

oleh : Firman Hidranto

Cetak Kirim ke Teman Komentar
Kebijakan Pemerintah Amerika Serikat dengan berbagai kemudahan di sektor properti, berupa stimulus bunga pinjaman yang rendah dan program subprime mortgage sudah sama-sama diketahui telah memberikan efek domino, berupa terjadinya krisis keuangan, tidak hanya di negara asalnya, tetapi juga berimbas ke negara lainnya.

Krisis itu tidak terkecuali juga menghantam Indonesia dan salah satu sektor yang paling terkena dampak dari krisis itu adalah sektor pertambangan. Betapa tidak, harga komoditas tambang utama-batu bara, logam, nikel-kini semua terjerembap akibat imbas dari krisis.

Contoh kasus dari dampak krisis adalah pada komoditas batu bara. Harga komoditas itu pernah sempat bertengger di level US$151 per ton. Melonjaknya harga komoditas itu menyebabkan maraknya pembukaan kuasa pertambangan (KP), bahkan ikut mendorong investor dari India, Thailand dan China untuk memburu tambang batu bara Indonesia.

Bagi yang telah memiliki tambang di Indonesia, baik izin dalam bentuk KP maupun pemegang PKP2B (perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara), lonjakan harga komoditas tahun lalu telah menyebabkan perusahaan itu berlomba-lomba listed di lantai bursa.

Ketika itu, bahkan perusahaan tambang yang mencatatkan diri di bursa efek menikmati kenaikan harga saham hingga 300% atau lebih. Namun, cerita itu kini mulai terkoreksi.

Menurut data Indonesian Coal Society (ICS), harga batu bara dunia bulan ini pada level US$134,85 per ton atau turun US$16 dolar per ton dibandingkan dengan sebelumnya yang mencapai US$151 per ton.

Lembaga itu memprediksi harga rata-rata batu bara dunia tahun ini akan mencapai US$128 per ton. ISC juga memberikan prediksi harga batu bara akan mencapai keseimbangan baru pada level US$110-US$120 per ton pada 2010. Itu pun setelah infra-struktur batu bara di Australia tuntas seluruhnya.

Menurut Direktur Eksekutif ICS Singgih Widagdo, pola pasar batu bara pada masa depan akan kembali ke pola linear antara pasokan dan permintaan. "Logikanya akibat krisis ini pertumbuhan ekonomi dunia melambat sehingga kebutuhan energi, termasuk listrik terkoreksi. Akhirnya permintaan ekspor batu bara otomatis akan turun," katanya.

Potensi sumberdaya mineral Indonesia (ton)
Jenis tambang cadangan produksi
Timah 462.402 60.697
Bijih nikel 627.810.000 4.095.478
Tembaga 41.473.267 -
Emas 3.156 20,8
Perak 11.417 43,7
Pasir besi 9.557.846 89.644
Bauksit 23.999.901 2.330827
Mangan 105.000 -
Sumber : Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral

Likuiditas terganggu

Pelaku industri pertambangan lainnya, Presdir PT Rio Tinto Indonesia Omar S. Anwar juga mengakui imbas krisis itu bagi sektor pertambangan. Menurut dia, gagal bayar akibat stumulus kredit berbunga rendah program subprime mortgage tentunya memberikan pengaruh bagi sektor itu. Pengaruh itu berupa sisi permodalan (working capital) dan likuiditas perusahaan.

"Yang jelas, krisis itu telah menyebabkan likuiditas menjadi terganggu. Imbas lainnya suku bunga tinggi sehingga kredit juga menjadi seret. Kondisi itu sangat jelas mengganggu. Akhirnya, kebijakan yang dilakukan perusahaan tambang saat ini berupa menerapkan kebijakan yang lebih prudent," ujar mantan bankir dari Bank Mandiri itu.

Tidak itu saja. Cerita soal pendanaan melalui pasar modal kini bisa jadi tinggal cerita. Apalagi sektor tambang dinilai sebagai salah satu sektor yang memiliki risiko tinggi sehingga investor kini lebih cenderung mencari bentuk investasi yang aman, tidak untuk sektor pertambangan.

Beberapa kalangan bahkan memprediksikan harga komoditas pertambangan baru bisa pulih kembali dalam tiga empat tahun mendatang.

Berbeda dengan kondisi di Indonesia, investor India dan China melihat krisis itu sebagai momentum untuk melakukan akuisisi terhadap perusahaan tambang Indonesia dengan harga murah.

Akuisisi yang kini sedang ditunggu-tunggu berbagai kalangan adalah akuisisi terhadap Bumi Resources, pemilik perusahaan tambang batu bara Kaltim Prima Coal dan Arutmin Indonesia.

Harus diakui krisis keuangan itu tidak bisa dihindari, termasuk Indonesia karena sistem ekonomi dunia sudah saling mengait.

Yang pasti krisis itu tentu harus diambil hikmahnya, yakni memperbaiki iklim investasi di sektor pertambangan sehingga sektor itu tetap menarik bagi investor untuk kembali menanamkan modal pascakrisis.

Mungkin pendapat Staf Ahli Menteri ESDM bidang Ekonomi dan Keuangan Simon F. Sembiring patut juga disimak. Menurut dia, sektor ESDM pernah menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia saat terjadinya krisis 1988-1998 yang lalu.

Pada krisis kali ini, tambahnya, peran itu bisa dilakukan kembali pemerintah dengan memperbaiki iklim investasi dan segera menyelesaikan kegiatan-kegiatan sektor ESDM yang sampai saat ini tertunda seperti PT Dairi Prima yang masih menunggu SK Presiden tentang penambangan bawah tanah.

Begitu juga dengan belum tuntasnya investasi PT Meares Soputan akibat masih adanya kesalahpahaman antara Departemen ESDM dengan Gubernur Sulut serta kontrak karya (KK) PT Jogja Mining dan PT Rio Tinto Indonesia yang hingga saat ini masih terganjal.

Subsektor panas bumi juga begitu. Harga patokan listrik berbasis panas bumi dinilai masih belum ekonomis dan perlu ada keberanian dari pemerintah untuk merevisinya.

Inilah pekerjaan rumah yang harus dilakukan pada masa krisis sembari menanti kembali sektor pertambangan sebagai komoditas primadona. Mudah-mudahan. (firman.hidranto@bisnis.co.id)

Tidak ada komentar: