Minggu, 30 November 2008

Inventarisasi Kandungan Minyak Dalam Bitumen Padat Daerah Padang lawas Sumatra Utara - Coal - Batubara

Inventarisasi Kandungan Minyak Dalam Bitumen Padat Daerah Padanglawas

INVENTARISASI KANDUNGAN MINYAK DALAM BITUMEN PADAT DAERAH PADANGLAWAS, KABUPATEN DHARMASRAYA, PROVINSI SUMATRA BARAT
S. M. Tobing
Kelompok Program Penelitian Energi Fosil

ABSTRACT
The aim of this exploration is to study the geological condition, lithological sequence, the thickness of the seam and the hydrocarbon content of the oil shale rocks in the formation.

Stratigraphically the study area composed mainly by several tertiary sedimentary sequence rock formations such as Lower and Upper Telisa, Airbenakat, Kasai and Alluvial deposits. The Lower Telisa Formation lies unconformable covered the pre tertiary Kuantan Formation, while all the other tertiary rock formations lie underlying conformably respectively. Most of the tertiary formations affected by the tectonic process to form anticline – syncline structures towards the Northwest – Southeast direction.

The geological and the drilling data show that the oil shale rocks only occurred in the Tertiary Upper Telisa Formation. The total thickness of the single oil shale bed up to 144.10 m thick. The distribution of the oil shale in the Upper Telisa Formation follows the assimetry sincline structure with its dips between 20o – 70o.
The former petrographic analyses show that all of the samples contain lamalginite and telalginite. The vitrinite reflectance ranging from Rvmean 0.25 – 0.35%. The average result of oil shale samples retorted, is 21 l/ton. It is believed that the Upper Telisa Formation is the oil shale-bearing formation and is also at least to be the source of the hydrocarbon.

The oil shale rock and the result of the oil/hydrocarbon resources calculated in the investigated area is divided into four blocks. The area of the Block I – IV is estimated around 2,018,873 m2 (52.635.447 barrel); Block II is 5.255.552 m2 (137.021.165 barrel); 4.215.551 m2 (121.158.912 barrel) and 2.058.082 m2 (59.151.218 barrel), respectively.

S A R I

Penyelidikan endapan serpih bitumen di daerah Padanglawas dan sekitarnya, Kabupaten Dharmasraya, Propinsi Sumatra Barat adalah untuk mengetahui kandungan minyak yang terdapat di dalam formasi pembawanya.

Stratigrafi daerah penyelidikan terdiri dari batuan sedimen tersier yaitu Formasi Telisa Bawah dan Atas, Airbenakat, Kasai dan Alluvial. Formasi Telisa Bawah terletak tidak selaras di atas Fm. Kuantan, sementara semua formasi yang lain masing-masing terletak selaras satu sama yang lain. Semua batuan sedimen tersier dipengaruhi oleh proses tektonik membentuk struktur antiklin dan sinklin berarah Baratlaut – Tenggara.
Berdasarkan pemetaan geologi dan data pemboran menunjukkan bahwa lapisan serpih bitumen hanya ditemukan pada Fm. Telisa Atas. Total ketebalan lapisan tunggal serpih bitumen sekitar 144,10 m. Penyebaran endapan lapisan serpih bitumen di dalam Fm. Telisa Atas mengikuti sayap sinklin asimetri dengan arah Baratlaut – Tenggara dengan kemiringan 20o – 70o.

Sumber daya batuan dan minyak/hidrokarbon di daerah penyelidikan dibagi menjadi empat blok perhitungan. Luas daerah dan sumber daya minyak pada keempat Blok I – IV masing-masing adalah 2.018.873 m2 (52.635.447 barrel); 5.255.552 m2 (137.021.165 barrel); 4.215.551 m2 (121.158.912 barrel) dan 2.058.082 m2 (59.151.218 barrel).

PENDAHULUAN

Salah satu kebijaksanaan pemerintah di bidang energi adalah intensifikasi yaitu survei dan eksplorasi sumber-sumber energi dalam upaya untuk mengetahui secara lebih mantap potensi sumber daya energi yang ada, dan untuk mengurangi ketergantungan kepada minyak dalam memenuhi kebutuhan energi dalam negeri serta meningkatkan penganekaragaman penggunaan berbagai jenis energi. Dalam hal ini serpih bitumen adalah salah satu sumber energi yang dapat memegang peranan penting di masa yang akan datang.

Inventarisasi dilakukan dengan pemboran dan pemetaan geologi. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengetahui kandungan minyak di dalam endapan serpih bitumen dengan tujuan untuk mengetahui potensi sumber dayanya. Bahan galian lain yang ada menurut informasi terdahulu adalah batubara.

Secara geografis daerah penyelidikan terletak di dalam Lembar Peta Topografi No. 0814-64 dan 0815-32, skala 1 : 50.000 yang diterbitkan oleh Bakosurtanal, tepatnya terletak diantara koordinat 0o55´00” - 1º10”00’LS dan 101º 40´ – 101º 55´ BT (Gambar 1.)

KEADAAN GEOLOGI

Robinson dan Kamal (1988) menekankan penyelidikannya pada batuan pengandung ‘oil shale’ atau batuan sumber minyak bumi. Koesoemadinata dan Matasak (1981) membahas tentang tatanan stratigrafi dan pola sedimentasi batuan Tersier Bawah di Cekungan Ombilin yang dikenal sebagai cekungan penghasil batubara.

Pada Akhir Kapur terjadi pensesaran batuan dasar yang menghasilkan struktur ‘horst’ dan ‘graben’. Selama Eosen - Oligosen terjadi sedimentasi pada bagian ‘graben’ (de Coster 1974). Sedimen ini terutama terdiri dari klastika kasar dengan sisipan batulumpur dan serpih bitumen. Pada zona-zona graben terjadi pembentukan serpih bitumen dan perkembangannya dikontrol oleh penurunan daratan secara perlahan. Hal ini mengakibatkan perluasan cekungan sedimentasi terutama ke arah Timur dan Barat. Pada waktu tertentu, cekungan berhubungan dengan laut terbuka dan disertai oleh pengendapan sedimen laut. Sejak pertengahan Miosen sedimen laut dangkal dan payau berkembang. Lapisan serpih bitumen dari Fm. Telisa dan atau Fm. Gumai berasal dari substansi organik yang terbentuk selama waktu itu di daerah rawa – laut dangkal.

Stratigrafi Regional

Secara regional Carnell dkk, (1998) menyusun stratigrafi cekungan sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 2. Silitonga P. H dan Kastowo (1995), membagi Fm. Telisa menjadi dua anggota yaitu Anggota Telisa Bawah dan Anggota Telisa Atas. Sedangkan di bagian selatan, Anggota Telisa Bawah dinamakan sebagai Fm. Talangakar dan Anggota Telisa Atas sebagai Fm. Gumai (Rosidi, dkk., 1996).

Batuan tertua yang terdapat di daerah penyelidikan adalah kelompok batuan Pra Tersier yaitu Fm. Kuantan (Fm. Barisan di bagian selatan) terdiri atas Anggota Bawah, Anggota Batugamping dan Anggota Filit dan Serpih. Ketiganya juga berperan sebagai batuan dasar dari Cekungan Sumatra Tengah.

Batuan sedimen tersier tertua di daerah inventarisasi adalah Fm. Telisa Bawah (Fm. Talangakar) dengan kedudukan tidak selaras di atas Fm. Kuantan. Formasi ini disusun terutama oleh napal lempungan, batupasir, tuf, breksi dan batupasir glaukonit, dan sisipan batubara. Fm. Telisa Atas (Fm. Gumai) terutama terdiri dari serpih, batugampingnapalan dengan sisipan tuf andesit.

Selaras di atas Fm. Telisa Atas (Fm. Gumai) secara berturut-turut diendapkan Fm. Air Benakat, Fm. Muara Enim dan Fm. Kasai.

Geologi Daerah Inventarisasi
Morfologi daerah inventarisasi dibagi menjadi dua satuan yaitu Satuan Morfologi Pematang dan Satuan Morfologi Pedataran. Satuan Morfologi Pematang dibangun oleh deretan perbukitan yang mempunyai sudut lereng curam berkisar dari 45º – 60º dan berada pada ketinggian antara 150 m dan 300 m di atas muka laut. Satuan ini dibentuk terutama oleh batuan Pra Tersier.

Satuan Morfologi Pedataran merupakan daerah lembah yang cukup lebar di antara morfologi pematang. Satuan ini berada pada ketinggian antara 50 m – 150 m dan dibangun oleh batuan sedimen-sedimen Tersier dan endapan aluvium.

Stratigrafi Daerah Inventarisasi
Batuan tertua yang terdapat di daerah penyelidikan adalah kelompok batuan metamorf dan metasedimen yang menempati bagian barat lembar peta. Kedua kelompok batuan itu disebut sebagai batuan dasar, dan oleh Silitonga (1995) dinamakan Fm. Kuantan yang terdiri dari tiga anggota yaitu Anggota Bawah, Anggota Batugamping dan Anggota Filit dan Serpih. Formasi ini di beberapa tempat diterobos oleh batuan beku granit.
Tidak selaras di atas kelompok batuan dasar diendapkan Fm. Telisa Bawah (Fm. Talangakar) yang terdiri dari konglomerat, batupasir, batulanau dan sisipan batulempung dan batubara. Batuan-batuan pembentuk formasi ini umumnya mengandung material volkanik berumur Oligosen sampai Miosen Awal. Selaras di atasnya diendapkan Fm. Telisa Atas (Fm. Gumai) yang disusun oleh serpih coklat, batupasir dan batulempung hijau berumur Miosen Awal. Selanjutnya di daerah ini diendapkan Fm. Air Benakat yang terdiri dari perselingan batulempung, batupasir yang kadangkala mengandung glaukonit dan serpih. Ketiga formasi ini menunujukkan pengendapan fase transgresi dari darat sampai laut dalam. Selaras di atas Fm. Air Benakat diendapkan Fm. Kasai yang memperlihatkan sedimentasi fase regresi.

Dari semua formasi sedimen Tersier ini yang bersifat pembawa serpih bitumen adalah Fm. Telisa Atas, sedangkan Fm. Telisa Bawah bertindak sebagai pembawa batubara (Tabel 1).

Struktur yang terdapat di daerah inventarisasi adalah lipatan dan sesar. Struktur lipatan terdiri dari sinklin dan antiklin yang berarah Baratlaut – Tenggara dan penunjaman ke arah Baratlaut dan Tenggara. Struktur lipatan ini mempunyai sayap-sayap yang tidak simetri dan besar kemiringan berkisar antara 10º dan 15º di bagian utara dan antara 25o dan 70o di bagian selatan.

Struktur sesar sebagai hasil penafsiran adalah sesar mendatar dan sesar naik. Sesar mendatar berarah Timurlaut – Baratdaya yang memotong batuan Pre Tersier dan Tersier. Sesar naik dengan arah Baratlaut – Tenggara dan bidang sesar mengarah ke Timurlaut menyingkap batuan PreTersier.

HASIL INVENTARISASI

Penyelidik terdahulu sudah menginformasikan keberadaan endapan serpih bitumen di daerah penyelidikan. Tobing, S. M., (2000) menyatakan bahwa data singkapan serpih bitumen yang ada diduga mempunyai ketebalan >300 m. Ilyas, S., (2003) dalam penyelidikannya terhadap endapan batubara menginformasikan juga bahwa lapisan endapan serpih bitumen cukup tebal. Keterdapatan lapisan serpih bitumen di daerah inventarisasi melalui singkapan-singkapan yang ada sangat sulit untuk mengetahui dan mengukur ketebalannya, karena batas singkapan lapisan bagian atas maupun lapisan bagian bawahnya sangat tidak jelas oleh karena karakteristik batuan berupa batulempungan mengalami pelapukan dan cenderung gradasional.

Melihat tebalnya lapisan serpih bitumen dari singkapan-singkapan, Tobing, S. M. (2005) melakukan pemboran di daerah bagian Baratlaut daerah penyelidikan. Diinformasikan bahwa ketebalan lapisan serpih bitumen mencapai 191,90 meter dengan rata-rata kemiringan lapisan 260.

Pada kegiatan ini, pemboran dilakukan pada Fm. Telisa Atas sebagai formasi pembawa serpih bitumen membuktikan keberadaan dan ketebalan lapisan serpih bitumen tersebut. Pemboran dilakukan pada 3 (tiga) titik dengan kedalaman titik bor masing-masing adalah BH-01 = 53,0 m, BH-02 = 102,0 m, dan BH-03 = 59,60 m (Gambar 3). Pada titik BH-03 lapisan batubara ditemukan mulai pada kedalaman 47,60 m setebal 0,80 m. Lapisan batubara ini merupakan indikasi batas antara Fm. Telisa Bawah dan Fm. Telisa Atas (Ilyas, 2003), dan diinterpretasikan sebagai batas formasi. Total ketebalan semu lapisan serpih bitumen dari hasil pemboran adalah 144,10 m. Singkapan-singkapan serpih bitumen dijumpai mulai dari permukaan yang hanya ditutupi oleh tanah lapuk sebagai penutup lapisan. Kemiringan berkisar dari 20º - 68º. Serpih batuan berwarna coklat muda sampai coklat tua, berlembar, kaya material organik dan menghasilkan aroma khas aspal/minyak bila dibakar. Belum dapat diketahui dengan pasti berapa ketebalan maksimum endapan serpih bitumen di dalam Fm. Telisa Atas. Hasil pemetaan singkapan serpih bitumen menunjukkan distribusi atau arah penyebarannya menerus dari baratlaut ke arah tenggara. Lapisan endapan serpih bitumen terletak pada sayap-sayap sinklin asimetris, memanjang searah dengan arah formasi batuan. Distribusi sebaran serpih bitumen di daerah penyelidikan dapat dilihat dalam Gambar 4.

Kualitas Serpih Bitumen
Kualitas serpih bitumen ditentukan berdasarkan analisa ‘retorting’ dan petrografi organik. Sebanyak 110 conto serpih bitumen sedang dianalisis untuk mengetahui kandungan minyaknya. Oleh karena analisis masih dalam proses, kualitas serpih bitumen mengacu kepada hasil informasi terdahulu.

Dalam laporannya, Tobing, S. M., (2000; 2005) menginformasikan hasil analisa petrografi serpih bitumen mengandung ganggang (algae) dan beberapa material organik yang amorf. Tingkat kematangan batuan adalah ‘immature’ dengan vitrinit refleksi Rv mean 0,22 – 0,36%. Conto-conto yang dianalisis mengandung alginit berupa lamalginit dan telalginit (Botryococcus) dengan jumlah yang bervariasi. Maseral-maseral tersebut dipercaya oleh para ahli ‘petrography source rock’ sebagai sumber hidrokarbon yang potensial. Demikian juga hasil analisis retorting serpih bitumen mengandung minyak berkisar dari 5 – 40 liter per ton batuan.

Sumber Daya Serpih Bitumen
Berdasarkan data singkapan, data pemboran, dan distribusi sebaran, maka ketebalan lapisan serpih bitumen di seluruh blok perhitungan diasumsikan sama setebal 191,90 m.
Untuk perhitungan sumber daya, kandungan minyak ‘mean’ dalam serpih bitumen diasumsikan 21 liter per ton batuan (in situ) dengan berat jenis batuan 2,35. Perhitungan kandungan minyak dalam tiap blok dapat dilihat dalam Tabel 4.
Perhitungan luas daerah inventarisasi dibagi ke dalam 4 (empat) blok. Masing-masing blok (Gambar 4) dibatasi berdasarkan struktur-struktur dan keyakinan geologi. Berdasarkan klasifikasi SNI tentang sumber daya, maka Blok I dan Blok IV adalah sebagai sumber daya hipotetik. Sedangkan pada Blok II dan Blok III adalah sumber daya tereka.

Dalam Tabel 4 dapat dilihat total sumber daya batuan pada Blok I dan Blok IV adalah sebesar 846.384.754 ton dengan total luas sekitar 4.076.955 m2. Sumber daya batuan pada Blok II dan Blok III adalah 1.954.792.018 ton dengan luas sekitar 9.471.103 m2.
Bila diasumsi kandungan minyak relatip sama pada semua batuan dan pada semua lapisan sekitar 21 liter per ton pada masing-masing blok, maka sumber daya minyak di dalam Blok I dan IV adalah sebesar 111.786.665 barrel minyak mentah (hipotetik). Total sumber daya minyak di dalam Blok II dan III adalah sebesar 258.180.077 barrel minyak mentah (tereka).

Endapan Batubara

Formasi Telisa Bawah adalah formasi pembawa batubara. Menurut Ilyas, S., (2003) sebaran batubara ditemukan di bagian utara daerah inventarisasi. dibagi menjadi dua blok, yaitu Blok Pedulangan dan Blok Bukittujuh. Di Blok Pedulangan lapisan batubara terdiri dari tiga lapisan dinamakan Seam Pedulangan, Seam Tiu I dan Seam Siasam (Seam Tiu II). Seam Pedulangan merupakan lapisan batubara paling bawah dengan total ketebalan 4,10 m yang terdiri dari lima lapisan. Tebal lapisan berkisar dari 0,15 m sampai 2,07 m. Sudut kemiringan kurang dari 10º - 15º. Seam Tiu I merupakan lapisan tunggal dengan satu lapisan pengotor lempung batubaraan, tebal 0,25 m. Ketebalan terukur singkapan 3,25 - 6,0 m. Seam Siasam merupakan batas atas Fm. Telisa Bawah dan Fm. Telisa Atas. Lapisan batubara terdapat dalam batulempung berwarna hijau, tebalnya 0,25 - 0,50 m.

Terdapat dua lapisan batubara di daerah Bukittujuh yang menempati struktur antiklin berarah Baratlaut – Tenggara. Seam Bukittujuh 1 berwarna hitam kecoklatan, kusam dan menyerpih, tebal 0,25 m. Seam Bukittujuh 2 tersingkap menempati kedua sayap antiklin. Tebal lapisan 0,80 m dalam batulempung, kemiringan lapisan 10º - 35º.
Batubara Seam Pedulangan, mengandung abu 20,3 – 38,3% dan belerang 0,4 – 1,88%. Nilai kalori antara 4.125 – 5.900 kal/gr. Kandungan abu Seam Tiu I : 15,6 – 24,1%, belerang 0,35 – 0,37% dan nilai kalori 5.875 – 6.440 kal/gr. Sedangkan Seam Tiu II atau Seam Siasam mengandung abu 19,8%, belerang 5,68% dan nilai kalori 3.970 – 4.030 kal/gr. Seam Bukittujuh II mengandung abu 5,1 – 37,1%, belerang 1,9% dan nilai kalori 4.125 – 6.565 kal/gr. Sumber daya batubara di Blok Pedulangan sekitar 105,7 juta ton sedangkan di Blok Bukittujuh sekitar 2,7 juta ton.

Prospek dan Kendala Pemanfaatan

Sumber daya serpih bitumen di daerah inventarisasi sangat besar dengan ketebalan lapisan mencapai lebih dari 100 m. Oleh karena itu kandungan minyak yang dapat di’retorting’ mempunyai peluang untuk dikembangkan bila mempunyai nilai ekonomis dengan kondisi saat ini. Batubara yang terdapat di bagian utara daerah inventarisasi dapat dipertimbangkan sebagai sumber pendapatan asli daerah.

Ditinjau dari infrastruktur yang sudah ada berupa jalan raya, dengan adanya perkebunan kelapa sawit dan perkebunan coklat, dengan sendirinya daerah tersebut merupakan daerah yang relatip sudah terbuka meskipun kondisi jalan masih merupakan jalan tanah yang diperkeras dimana pada waktu musim hujan sangat sulit dilalui kendaraan. Lagipula daerah penyelidikan dekat dengan poros jalur lintas sumatra.
Kendala utama dalam eksploitasi kedua komoditi tersebut adalah tumpangtindihnya lahan keterdapatannya dengan lahan perkebunan kelapa sawit dan perkebunan coklat yang sudah dalam tahap produksi.

KESIMPULAN

Formasi Telisa Atas adalah formasi utama pembawa endapan serpih bitumen yang menempati struktur sinklin berarah Baratlaut – Tenggara dan kemiringan 25º - 68º.
Ketebalan lapisan serpih bitumen mencapai 144,10 m.

Formasi pembawa batubara adalah Fm. Telisa Bawah. Total sumber daya batubara di Blok Pedulangan sekitar 105,7 juta ton dan di Blok Bukittujuh sekitar 2,7 juta ton.
Kandungan minyak dalam batuan serpih bitumen berkisar dari 5 – 40 liter per ton batuan (in situ). Rata-rata 21 liter per ton batuan.

Luas daerah pada Blok I = 2.018.873 m2 dan Blok IV = 2.058.082 m2 . Luas daerah pada Blok II = 5.255.552 m2 dan Blok III = 4.215.551 m2.
Total sumber daya minyak in situ (Blok I dan Blok IV) = 111.786.665 barrel (hipotetik), dan sumber daya minyak di Blok II dan Blok III = 258.180.077 Barrel (tereka).

Daerah inventarisasi hampir seluruhnya merupakan daerah perkebunan kelapa sawit yang telah berproduksi.

UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimakasih disampaikan kepada pemerintah Kabupaten Dharmasraya atas bantuan yang diberikan. Tidak lupa ucapan terimakasih disampaikan kepada pihak managemen dan staf lapangan PT. Sumbar Andalas Kencana yang telah memberikan ijin dan sarana di lapangan. Kepada kolega di Pokja Energi Fosil khususnya di bidang dokumentasi dan komputer disampaikan terimakasih.

DAFTAR PUSTAKA
Carnell, A., Butterworth, P., Hamid. A., Livsey, A. Barton, J., and Bates, C., 1998. The brown shale of Central Sumatra: a detailed geological appraisal of a shallow lacustrine source rock. Proceedings Indonesian Petroleum Association. 26th Annual Convention, Jakarta.
De Coster, G.L., 1974. The Geology of The Central and South Sumatra Basin. Proceeding Indonesia Petroleum Association, 4th Annual Convention.
Holcombe, C.J., 1972. Report on a Survey of Coal Prospects in Central Sumatra, PT. Rio Tinto Indonesia, Report No. 198. (Unpublished).
Ilyas, S., 1989. Laporan Survei Tinjau Sumber Daya Batubara Daerah Kuantan Mudik, Kabupaten Indragiri Hulu, Propinsi Riau. Direktorat Sumber Daya Mineral, Bandung.
Ilyas, S., 2003. Laporan Inventarisasi Batubara Kawasan Lintas Propinsi di Daerah Padanglawas, Kabupaten Sawahlunto – Sijunjung, Propinsi Sumatra Barat dan Kabupaten Kuantan Singingi, Propinsi Riau. Direktorat Inventarisasi Sumber Daya Mineral, Bandung.
Robinson , K. M., and Kamal, A., (1988). Hydrocarbon generation, migration and entrapment in the Kampar Block, Central Sumatra. Proceedings of the Indonesian Petroleum Association. pp. 211 - 256.
Rosidi, H. M. D., Tjokrosapoetro, S., Pendowo, B., Gafoer, S., dan Suharsono, 1996. Peta Geologi Lembar Painan dan Bagian Timurlaut Lembar Muarasiberut, Sumatra. Skala 1:250.000. Puslitbang Geologi, Bandung.
Silitonga, P.H., dan Kastowo, 1975. Peta Geologi Lembar Slok, Sumatra. Skala 1 : 250.000. Puslitbang Geologi, Bandung.
Tobing, S.M., 2000. Laporan Survei Pendahuluan Endapan Bitumen Padat di Daerah Sijunjung, Propinsi Sumatra Barat. Direktorat Inventarisasi Sumber Daya Mineral, Bandung.
Tobing, S. M. 2005. Laporan Inventarisasi Bitumen Padat dengan ‘outcrop drilling’ di daerah Sungai Dareh, Kabupaten Sawahlunto – Sijunjung, Propinsi Sumatra Barat. Direktorat Inventarisasi Sumber Daya Mineral, Bandung.

Tidak ada komentar: